Rabu, 08 Maret 2017

Babi Guling dan Sesaji





Upacara otonan menggunakan babi guling sebagai sarana upacara, Asahdurem, Pekutatan, Jembrana, Kamis (13/5).


Masyarakat Bali yang beragama Hindu merupakan masyarakat religius yang sangat meyakini kebenaran ajaran dalam agamanya. Agama Hindu berkembang baik di Bali sebagai sebuah agama yang hamper tidak dapat dipisahkan dengan tradisi masyarakat Bali sendiri. Hindu menjiwai adat serta tradisi masyarakat Bali. Oleh karena itu filosofi-filosofi dalam ajaran Hindu turut memengaruhi hamper sebagian besar tradisi masyarakat Bali.  Filosofi tersebut berkembang sesuai dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Filosofi Hindu bersifat fleksibel, ia mampu bergerak dinamis mengikuti situasi tempatnya berkembang tanpa harus mematikan unsur lokal yang telah ada jauh sebelum Hindu. Filosofi adalah sebuah pengetahuan yang melibatkan logika guna menemukan makna atau hakikat sesuatu hal. Filosofi dalam Hindu di Bali tidak hanya melibatkan logika semata, tetapi berjalin dengan akal budi dan kekuatan di luar nalar manusia. Karena itulah, Hindu dengan tradisi Bali sering kali dianggap sebagai agama simbol, karena segala sesuatunya disimbulkan dalam bentuk yang nyata. Bahkan seringkali simbol-simbol tersebut merupakan bagian semiotika tingkat tinggi yang tidak dengan mudah dapat dipahami.
            Babi guling merupakan salah satu bagian dari tradisi dan memperkuat keyakinan agama masyarakat Bali. Keberadaannya menjadi salah satu simbol penting bagi hampir sebagian besar ritual yang dilaksanakan masyarakat Bali. Babi guling sendiri merupakan sebuah simbol dan bermakna, tidak semata-mata hadir sebagai sesaji. Babi guling dimaknai sebagai simbol memohon berkah, bermakna pembawa kemakmuran dan sebagai salah satu wujud syukur paling besar. Umumnya pada mulut babi guling yang digunakan sebagai sesaji akan berisi daun pisang dan pada lubang anusnya berisi nasi. Hal ini juga bermakna bahwa dari sesuatu yang sederhana (daun pisang) pada akhirnya diharapkan akan menjadi suatu yang berharga dan bermanfaat (nasi). Selain itu, pinggang babi guling diberi sabuk (ikat pinggang) dari janur, demikian juga lehernya dikalungi janur dan digantungi uang kepeng dua keping. Semuanya bermakna ketulusan dan keikhlasan, dengan tetap menampilkan estetika. Dalam hal memohon berkah dan pembawa kemakmuran, babi guling dihadirkan pada banten yang merupakan bagian dari banten bebangkit ataupun banten otonan. Sebagai wujud syukur yang paling besar, babi guling umum dijadikan santapan istimewa saat masyarakat Bali merayakan peristiwa bahagia.
            Kegiatan ritual masyarakat Bali yang beragama Hindu seringkali menggunakan babi guling adalah pada saat otonan.  Banten otonan yang menggunkan babi guling biasanya banten otonan yang diperuntukkan bagi orang yang otonannya bertepatan dengan Purnama dan Tilem. Selain sebagai pelengkap banten dalam upacara yang rutin dilaksanakan, babi guling juga sering digunakan dalam upacara yang bersifat insidental atau mendesak bahkan dalam situasi darurat seperti upacara pemayah merana. Pemayah merana  atau sering disebut juga nangluk merana merupakan upacara yang dilakukan ketika suatu wabah penyakit atau terjadi bencana yang menimpa masyarakat.  Selain itu, babi guling sering juga dipakai dalam upacara naur sesangi atau naur saudan. Sesangi atau saudan bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu bukanlah hal yang asing, bahkan sesangi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Sesangi dalam bahasaa Indonesia dapat berarti berjanji. Mana kala seseorang terkena musibah atau memiliki keinginan tertentu terkadang mereka secara spontan mengeluarkan janji bila terbebas dari musibah atau tercapai semua keinginannya, maka mereka akan sanggup menghaturkan banten dengan sesaji babi guling. Umumnya mesesangi dilakukan di tempat-tempat suci atau tempat-tempat yang dianggap memiliki aura spiritual tinggi. Dalam dunia sesangi, kesanggupan menghaturkan guling harus diucapkan dengan sangat hati-hati, karena ada istilah guling buntut yang berarti manusia, sementara guling yang benar-benar babi guling biasanya disebut dengan guling suku pat.
            Makna babi guling sebagai sesaji yang menjadi simbol kesejahtraan, kemakmuran, serta pembawa berkah tentunya secara tidak langsung telah disepakati bersama oleh orang Bali yang beragama Hindu meski tanpa sebuah deklarasi. Pemanfaatan babi guling dalam keseharian ritual masyarakat Bali yang beragama Hindu pun telah menjadi kesepakatan tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan berakar kuat. Babi guling sebagai sebuah simbol dalam masyarakat Bali yang beragama Hindu dimaknai sama, namun disikapi beragam. Ini biasa terjadi pada sebuah kebudayaan yang memberikan ruang interpretasi yang luas bagi masyarakatnya. Ruang interpretasi inilah yang seharusnya menjadikan masyarakat lebih rasional dalam bersikap dan menjalankan tradisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar