Upacara otonan menggunakan babi guling
sebagai sarana upacara, Asahdurem, Pekutatan, Jembrana, Kamis (13/5).
Masyarakat
Bali yang beragama Hindu merupakan masyarakat religius yang sangat meyakini
kebenaran ajaran dalam agamanya. Agama Hindu berkembang baik di Bali sebagai
sebuah agama yang hamper tidak dapat dipisahkan dengan tradisi masyarakat Bali
sendiri. Hindu menjiwai adat serta tradisi masyarakat Bali. Oleh karena itu
filosofi-filosofi dalam ajaran Hindu turut memengaruhi hamper sebagian besar
tradisi masyarakat Bali. Filosofi
tersebut berkembang sesuai dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Filosofi
Hindu bersifat fleksibel, ia mampu bergerak dinamis mengikuti situasi tempatnya
berkembang tanpa harus mematikan unsur lokal yang telah ada jauh sebelum Hindu.
Filosofi adalah sebuah pengetahuan yang melibatkan logika guna menemukan makna
atau hakikat sesuatu hal. Filosofi dalam Hindu di Bali tidak hanya melibatkan
logika semata, tetapi berjalin dengan akal budi dan kekuatan di luar nalar
manusia. Karena itulah, Hindu dengan tradisi Bali sering kali dianggap sebagai
agama simbol, karena segala sesuatunya disimbulkan dalam bentuk yang nyata.
Bahkan seringkali simbol-simbol tersebut merupakan bagian semiotika tingkat
tinggi yang tidak dengan mudah dapat dipahami.
Babi guling merupakan salah satu
bagian dari tradisi dan memperkuat keyakinan agama masyarakat Bali.
Keberadaannya menjadi salah satu simbol penting bagi hampir sebagian besar
ritual yang dilaksanakan masyarakat Bali. Babi guling sendiri merupakan sebuah
simbol dan bermakna, tidak semata-mata hadir sebagai sesaji. Babi guling
dimaknai sebagai simbol memohon berkah, bermakna pembawa kemakmuran dan sebagai
salah satu wujud syukur paling besar. Umumnya pada mulut babi guling yang
digunakan sebagai sesaji akan berisi daun pisang dan pada lubang anusnya berisi
nasi. Hal ini juga bermakna bahwa dari sesuatu yang sederhana (daun pisang)
pada akhirnya diharapkan akan menjadi suatu yang berharga dan bermanfaat
(nasi). Selain itu, pinggang babi guling diberi sabuk (ikat pinggang) dari
janur, demikian juga lehernya dikalungi janur dan digantungi uang kepeng dua keping.
Semuanya bermakna ketulusan dan keikhlasan, dengan tetap menampilkan estetika.
Dalam hal memohon berkah dan pembawa kemakmuran, babi guling dihadirkan pada banten yang merupakan bagian dari banten bebangkit ataupun banten otonan. Sebagai wujud syukur yang
paling besar, babi guling umum dijadikan santapan istimewa saat masyarakat Bali
merayakan peristiwa bahagia.
Kegiatan ritual masyarakat Bali yang
beragama Hindu seringkali menggunakan babi guling adalah pada saat otonan.
Banten otonan yang menggunkan
babi guling biasanya banten otonan yang
diperuntukkan bagi orang yang otonannya bertepatan
dengan Purnama dan Tilem. Selain sebagai pelengkap banten dalam upacara yang rutin dilaksanakan, babi guling juga
sering digunakan dalam upacara yang bersifat insidental atau mendesak bahkan
dalam situasi darurat seperti upacara pemayah
merana. Pemayah merana atau sering
disebut juga nangluk merana merupakan
upacara yang dilakukan ketika suatu wabah penyakit atau terjadi bencana yang
menimpa masyarakat. Selain itu, babi
guling sering juga dipakai dalam upacara naur
sesangi atau naur saudan. Sesangi atau saudan bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu bukanlah hal yang
asing, bahkan sesangi sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Sesangi dalam bahasaa Indonesia dapat berarti berjanji. Mana kala
seseorang terkena musibah atau memiliki keinginan tertentu terkadang mereka
secara spontan mengeluarkan janji bila terbebas dari musibah atau tercapai
semua keinginannya, maka mereka akan sanggup menghaturkan banten dengan sesaji babi guling. Umumnya mesesangi dilakukan di tempat-tempat suci atau tempat-tempat yang
dianggap memiliki aura spiritual tinggi. Dalam dunia sesangi, kesanggupan menghaturkan guling harus diucapkan dengan sangat hati-hati, karena ada istilah guling buntut yang berarti manusia,
sementara guling yang benar-benar
babi guling biasanya disebut dengan guling
suku pat.
Makna babi guling sebagai sesaji
yang menjadi simbol kesejahtraan, kemakmuran, serta pembawa berkah tentunya
secara tidak langsung telah disepakati bersama oleh orang Bali yang beragama
Hindu meski tanpa sebuah deklarasi. Pemanfaatan babi guling dalam keseharian
ritual masyarakat Bali yang beragama Hindu pun telah menjadi kesepakatan
tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan berakar kuat. Babi guling
sebagai sebuah simbol dalam masyarakat Bali yang beragama Hindu dimaknai sama,
namun disikapi beragam. Ini biasa terjadi pada sebuah kebudayaan yang
memberikan ruang interpretasi yang luas bagi masyarakatnya. Ruang interpretasi
inilah yang seharusnya menjadikan masyarakat lebih rasional dalam bersikap dan
menjalankan tradisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar